Navigasi

Yang Benar Mana ya?

Perkara menulis memang perkara yang sulit, bagi anak-anak yang tidak suka menulis. Diberi 5 pertanyaan saja sudah mengeluh banyak. Materi yang diberikan adalah tentang huruf kapital. Alhamdulillah beberapa anak mampu menjadi motivator bahkan jadi provokator kebaikan. Ketika ditanya," Dimana saja kita menuliskan huruf kapital?" Beberapa anak itu bersorak,"Di awal kalimat, awal nama orang/kota/daerah/negara/hari/bulan." Mereka hebat. Ilmu di kelas I kemarin masih membekas. Alhamdulillah, bekal itu akan berguna di kelas berikutnya.

Aku coba mengajak mereka untuk mengingat kembali materi kelas satu itu dengan memberikan beberapa contoh.

"Oke, manakah yang menggunakan huruf besar dengan benar : 1) november 2) April ?"

Anak-anak riuh.

" Ayo, angkat tangan yang memilih 1!" (sedikit yang memilih 'november').

" Sekarang, yang memilih 2, silahkan angkat tangannya." (banyak tangan teracung ke atas, alhamdulillah). Setelah menerangkan, aku memberi latihan 'Tebak yang Benar'. Siswa menyiapkan buku tulis, begitu pun aku menyiapkan 2 pilihan. Anak diminta untuk melingkari pilihan yang menurutnya benar.

1. a. Cilacap b. citarum

2. a. nafis b. Royyand

3......................................

4......................................

10....................................

Alhamdulillah anak-anak antusias dengan latihan seperti ini karena sedikit tulisannya.

Di kesempatan lain, aku memberikan latihan yang bentuknya seperti ini :

1. ...ufar siswa kelas 2 Zaid.

2. ...ulan ...gustus kita mulai berpuasa.

Anak-anak diminta menambahkan huruf kapital pada kalimat tersebut. Sebenarnya mereka menjawab benar.

1. Aufar siswa kelas 2 Zaid.

2. Bulan Agustus kita mulai berpuasa.

Sayangnya, mereka belum konsisten untuk menulis dengan huruf kapital. Beberapa anak sering sekali menulis huruf kecil pada huruf yang seharusnya besar. Memang anak-anak harus diingatkan terus.

Saat Anak Bertingkah

Lagi-lagi tentang sholat. Sholat mendapatkan perhatian di sekolah karena anak-anak kelas 1-6 sholat berjama’ah di sekolah. Untuk siswa kelas I-IV, sholatnya di kelas. Yang kelas V-VI di masjid. Kelas II yang merupakan peralihan dari kelas I sehingga tingkah anak-anak kelas I sangat jelas terlihat di keseharian mereka. Ada yang langsung menangis karena disenggol sedikit oleh temannya, ada yang masih naik loker (kalau tidak disuruh turun, tuh kerumunan anak bisa terjatuh), ada yang masih belum lancar membaca dan menulis, masih ada yang pipis (meski si anak ngomong akhirnya), masih ada yang meletakkan sandal bukan di rak (meski sudah diberi tahu berkali-kali), masih ada anak yang membuka jilbabnya sedang anak laki-laki ada (sudah diberi tahu, tapi seringnya mereka lupa), masih ada yang berbicara di saat sholat berjama’ah Zuhur.

Masalah yang terakhir itu adalah masalah yang butuh ekstra ‘ngomel’ tiap hari. Ketika melihat beberapa anak berbicara di saat sebelum sholat, ketika sholat, atau setelah sholat (dzikir), rasanya kesal sekali. Pernah aku teriak,” Astaghfirullahal adziim…bla…bla..bla…bla…!” Semua anak terdiam. Aku jarang berkata keras dengan suara yang tinggi dan bernada marah.

“Oke, Bunda tunggu sampai semuanya siap untuk sholat !” Yang lain langsung melihat sekeliling dan ada beberapa anak yang meletakkan telunjuknya di bibir untuk menandakan semuanya harus dia. Alhamdulillah semuanya diam. Sholat pun dimulai. Ketika sholat, beberapa anak asyik bercerita, aku tegur. Jika dengan teguran yang diberikan pada mereka berhasil, mereka selamat dari ‘mengulangi sholat’.

Tadi, patnerku memberikan wejangan kepada anak-anak.

Guru :” Sholat itu untuk siapa ? “

Anak-anak :” Allah”

Guru :” Kalau untuk Allah berikan yang terbaik. Bukannya main-main, ngobrol. Emang Allah nggak melihat kita ?”

Anak-anak :” Lihat.”

Guru :” Apakah malaikat di sebelah kanan-kiri kita tidak mencatat semua perilaku kalian ?”

Tiba-tiba seorang anak menyeletuk.

Anak 1 :” Mana, Bun ? Nggak ada.” (sambil melirik ke kanan-kiri)

Aku yang mendengarnya langsung tersenyum :) Patnerku pun menasihati bahwa yang kita lakukan itu membawa kebaikan atau keburukan untuk orang tua. Bila yang kita perbuat adalah keburukan, orang tua sebagai pengemban amanah akan terkena akibatnya begitu pun sebaliknya jika yang dilakukan itu adalah perbuatan baik.

Rindunya Seorang Ibu

Seorang ibu duduk sesegukkan di atas tangga dengan telapak tangan menutup mukanya. Suara tangisnya tak bisa dia tahan. Keluarlah, begitu menyayat. Pejalan kaki yang melewati sang ibu merasa heran dengan suara tangisan itu. Didekatinya si ibu. Dengan agak takut, si pejalan kaki itu mencoba bertanya. Inilah dialog singkatnya :

Pejalan kaki : “Maaf, Bu, dari tadi saya melihat Ibu menangis. Ibu menangis karena apa?”

(Si ibu belum menjawab pertanyaan si pejalan kaki). Dengan masih sesegukkan, si ibu menjawab.

Ibu : ” Begitulah kalau orang tua tahan bersusah payah untuk anaknya walaupun jauh tetap ditempuh.”

Pejalan kaki : ” Mungkin bukan begitu maksud anak ibu….” Kalimat si pejalan kaki terpotong.

Ibu : ” Gimana bukan begitu, lah udah jelas. Waktu masih belum berkeluarga aja dia nggak ingat sama orang tuanya, apalagi sekarang.”

Pejalan kaki : ” Ibu, anak Ibu pasrti punya alasan tertentu. Saya yakin bukan hanya Ibu yang rindu dia, tapi anak Ibu pasti rindu pada orang tuannya.

Si Ibu tidak mau mengalah dengan suara agak keras dia berkata

Ibu : ” Benarlah kata pepatah, ‘Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah.” (Ucapnya dengan keras tanpa mau mengalah).

Ibu : ” Padahal ingin sekali mendengar suaranya walaupun sebentar. Ini berbulan-bulan tidak ada kabar. Cemas sebenarnya. ” (Si Ibu menangis kembali).

Pejalan kaki : ” Bu, doakan saja semoga anak Ibu menyadari kesalahannya sehingga segera menghubungi Ibu.”

Kutinggalkan si Ibu sendirian di pinggir jalan di bawah pohon pelindung. Aku berharap jangan sampai terucap dari lisan si Ibu kata-kata yang berupa sumpah. Masya Allah.

Ya Allah jadikan keluarga kami keluarga yang tenang dalam limpahan rahmat-Mu

Jadikan kami sebagai anak yang membuat keluarga kami bangga

Bukan menangis karena kehadiran kami

dan tersenyum saat kami berpisah

Ya Allah buatlah hati kami bersih dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain

Ya Allah, lindungi kami dari seluruh keburukan yang dapat mengaratkan hati kami

Ya Rabbana, ampunilah kami jika membuat hati orang tua kami terluka

Lindungi dan sayangi mereka dari segala kejahatan dunia-akhirat

Beri senyum kepada mereka dengan senyuman terindah yang pernah mereka rasakan

setiap detiknya

Ya Rabbana, belum bisa kami membahagiakan orang tua kami

Bahagiakan mereka dengan cara-Mu

Bahagiakan mereka dengan kasih sayang-Mu

Beri mereka naungan surga dan kami bisa berbakti kepada mereka disana. Aamiin ya Rabbana

-_-

Puisi di Sekolah

Suruh saja aku baca puisi di depan orang. Membaca puisi itu mudah kok, siapa bilang membaca puisi itu susah. Gampang kok, tapi aku maunya membaca puisinya di depan anak-anak saja. Selebihnya, aku malu :mrgreen:

Untung saja, yang melihat aku membaca sebuah puisi itu hanya anak-anak, kalau orang dewasa. .. Ah, apa jadinya tuh, mungkin suaraku tidak terdengar :D Sekolah menunjuk beberapa guru untuk ikut serta dalam perlombaan membaca puisi oleh guru. Jelas saja aku langsung menolaknya. Aku katakan,” Kalau lomba menulis aku mau, puisi….Sepertinya itu, aku tidak mau deh. ” Teman, yang mendengar perkataanku bilang,” Ya, udah, nanti ngomong langsung aja kepada Kepala sekolah,” dengan tersenyum karena melihat komentarku yang spontan. Oh, Teman…. Aku yakin, aku sebenarnya bisa hanya saja aku tidak mau ikut (walaupun berbagai alasan diberikan).


Pagi ini materinya adalah puisi. Dibanding kelas atas, materi kelas dua lebih ringan dan tentu saja aku senang mendapatkan kondisi yang seperti itu. Kutanyakan kepada anak,” Siapa yang hapal satu puisi?” Beberapa anak dengan wajah riang langsung mengangkat tangan dan berkata,” Bunda, aku hapal. Judulnya ‘Ibu’” Kupanggil saja anak itu ke depan kelas, Aris namanya. Aris itu adiknya Angga, siswa di kelasku dulu. Dengan kupeluk Aris dari belakang, Aris mulai membaca puisi. Sederhana sekali isi puisi itu. Seperti ini isinya :

Ibu

Kau mendidikku

Membesarkanku

Hanya 4 baris, tapi maknanya begitu indah. Ibu.

Aku tanya kembali, ” Ketika kalian mendengarkan puisi ini, apa yang kalian rasakan?”

“Sedih, Bunda!” Teriak anak laki-laki dari belakang.

” Ya, kalau kita menghayati puisi itu, kita bisa menangis lho.” Aku coba buat puisi dengan rasa ‘sedih’ setelah itu aku membuat puisi dengan rasa yang berbeda, gembira. Ah, lagi-lagi kucing sebagai objek puisiku.

Lincah

Berlari kecil

Bermain ekor induknya

Suaranya mengeong

Ruangnya hidup

Kecil, abu-abu putih

Kucing kesayanganku

Kukejar ia, dia berlari

Kukejar lagi, dia lari lagi

Duh, lucunya kucingku

:)

Hah, pengalaman bersama kucing di rumah ternyata membawaku menikmati setiap mengajar di kelas rendah ini. Semua pengalaman itu mengantarkanku untuk terus mengapresiasikan semua yang kumiliki. Bahagia rasanya ketika seorang anak kelas atas (yang pernah kuajari dulu) berkata,” Bunda, kata adik kucing Bunda meninggalnya.” Mereka ingat dengan apa yang kusampaikan, Teman. Bahagianya ^_^

Pertama Mengudara

Aku buat blog untuk meenjaga agar semua tulisanku tidak diacak orang. Blog ku dulu yang ini lho, boleh deh lihat http://melianaaryuni.wordpress.com
Semoga blog ini mampu memback up seluruh tulisan-tulisanku ^_^

Surat Cintaku Untukmu, Wahai Diri

  Foto oleh John-Mark/pexels.com Untukmu diriku di Bumi Allah Dear diriku, Apa kabarmu, wahai diriku? Apakah kau masih setia kepadaku? Apaka...